Daur Ulang Limbah Sachet Kimia: Eksperimen yang Gagal

Skala polusi plastik global telah terungkap dalam beberapa tahun terakhir. Lebih dari 300 juta ton plastik diproduksi setiap tahun, dan lebih dari 90 persennya berakhir di tempat pembuangan sampah, tempat pembuangan sampah, insinerator, dan di darat serta saluran air. Seperti banyak negara lain di Asia Tenggara, Indonesia menghadapi pertumbuhan konsumsi domestik plastik sekali pakai dan sampah yang tiba di pelabuhan atas nama perdagangan. Indonesia telah dicap sebagai penyumbang kebocoran plastik laut terbesar kedua setelah China. Selain jumlah yang diperkirakan bocor ke saluran air dan laut (9 persen dari 4.8 juta ton sampah plastik yang dihasilkan di Indonesia setiap tahun), sebagian besar sampah plastik di negara ini tidak dikelola dengan baik melalui pembakaran terbuka (48 persen). , pembuangan di darat atau tempat pembuangan sampah (13 persen).

Menanggapi krisis polusi plastik yang belum pernah terjadi sebelumnya, perusahaan barang konsumen yang bergerak cepat dan industri petrokimia telah mendukung dan mempromosikan teknologi yang terdengar ajaib, mendorong kembali reputasi buruk mereka sebagai pencemar plastik utama. CreaSolv adalah proyek unggulan Unilever Indonesia dalam hal ini, dan media telah menyebutnya sebagai contoh inovasi teknologi yang dapat memecahkan seluruh masalah sampah plastik global dengan mendaur ulang plastik bernilai terendah.

Namun, dua tahun setelah peluncuran pabrik percontohan yang sangat dirayakan di Indonesia pada tahun 2017, keributan seputar proyek CreaSolv mereda karena perusahaan secara diam-diam menutup operasinya. Laporan dari investor lokal mengungkapkan dampak berlapis-lapis dari proyek CreaSolv, mulai dari kesulitan logistik pengumpulan sachet hingga tantangan ekonomi seputar produk akhir.